makalah OJK dan LPS



MAKALAH
MANAJEMEN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH NON BANK


Tentang : 
OTORITAS JASA KEUANGAN dan LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

Oleh:

                                                          NAMA           : RIKA MALIA       
                                                          NIM                : 1630401148
                      


Dosen :
Dr. H. SYUKRI ISKA, M.Ag.
IFELDA NENGSIH, SEI., MA.



JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT  AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
BATUSANGKAR
2017/2018
BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Otoritas jasa keuangan adalah sebuah lembaga pengawas jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi yang sudah harus terbentuk pada Tahun 2010. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini sebagai suatu lembaga pengawas sektor keuangan di Indonesia perlu untuk diperhatikan, karena harus dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut.
Pada dasarnya UU tentang OJK ini hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki kekuasaan. Otoritas Jasa Keuangan dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan untuk melakukan penataan kembali lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan. Hal tersebut dilandasi oleh berbagai hal yaitu: amanat undang-undang, perkembangan keuangan, konglomerasi jasa keuangan, perlindungan konsumen. Oleh karena itu, saya akan membahas mengenai Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan?
2.      Apa tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan?
3.      Bagaimana mekanisme kerja Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan?





BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang didirikan berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK).Lembaga ini didirikan untuk melakukan pengawasan atas industri jasa keuangan secara terpadu. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU OJK, dirumuskan bahwa OJK adalah lembaga yang mempunyai independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Ada berbagai pertimbangan yang menjadi alasan pemerintah untuk membentuk OJK yaitu adanya berbagai perubahan yang terjadi dalam industri jasa keuangan, terutama menyangkut empat faktor:
a.       Produk jasa keuangan semakin bervariasi dan kompleks
b.      Karena berbagai alasan bisnis, lembaga-lembaga keuangan cenderung menjadi bagian dari konglomerasi
c.       Globalisasi perdagangan jasa meningkatkan arus transaksi keluar dari atau masuk ke Indonesia.
d.      Perkembangan inovasi tekhnologi bisnis yang sangat cepat, kompleksitas produk yang diperdagangkan makin tinggi. (Dewi, 2006, hal. 121)
OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat, yang diwujudkan melalui adanya sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.
OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya, antara lain melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, termasuk kewenangan perizinan kepada Lembaga Jasa Keuangan. (Aminah, 2012, hal. 8)
2.      Pengertian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah Lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sebagai lembaga yang menjamin simpanan nasabah, LPS sangat berkepentingan terhadap tingkat kesehatan bank baik secara individual maupun secara agregat. Untuk menjaga tingkat kesehatan bank secara individual (micro prudential) maupun secara agregat (macro prudential) diperlukan pengawasan perbankan yang efektif.
Keberadaan LPS dalam sistem perbankan di Indonesia ditegaskan di dalam Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS). LPS bertanggungjawab kepada presiden dan dalam kegiatannya merupakan lembaga independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Independensi LPS mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, LPS tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun termasuk pemerintah kecuali atas hal-hal yang dinyatakan secara jelas dalam di dalam undang-undang LPS.(pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS)
Mengingat bahwa kebijakan penjaminan dapat berdampak pada sektor perbankan dan fiskal, maka di dalam LPS terdapat wakil dari masing-masing otoritas yang berwenang. Keberadaan para wakil otoritas tersebut dimaksud untuk bersamasama merumuskan kebijakan penjaminan yang dapat mendukung kebijakan pada sektor-sektor tersebut.
Namun pada pelaksanaan kebijakan tersebut merupakan sepenuhnya tanggung jawab dan kewenangan LPS tanpa dapat dicampur tangani oleh pihak manapun. Sebagai contoh dalam melaksanakan tugas penyelesaian bank yang dicabut izin usahanya, khususnya dalam rangka penjualan/pengalihan aset bank tersebut, LPS tidak dapat dipengaruhi oleh kepentingan pihak luar termasuk pemerintah. (Simorangkir, 1998, hal. 10)
Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional sekaligus menghambat melemahnya nilai tukar rupiah, pemerintah memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat sebagaimana diatur dalam UU No 21 Tahun 2008 Pasal 54 Ayat 2 dan 3:
1.      Apabila tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 belum cukup mengatasi kesulitan yang dialami bank syariah. BI menyatakan bank syariah tidak dapat disehatkan dan menyerahkan penanganannya ke LPS untuk diselamatkan atau tidak diselamatkan
2.      Jika LPS menyatakan bank syariah tidak dapat diselamatkan, BI atas permintaan LPS mencabut izin usaha bank syariah dan penanganan lebih lanjut dilakukan LPS sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan Pasal 4 UU No 24 Tahun 2004, LPS menjalankan fungsi untuk menjamin simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam stabilitas sistem perbankan. Berdasarkan Pasal 96, pelaksanaan fungsi LPS juga dilaksanakan bagi bank berdasarkan prinsip syariah, ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP No 39 Tahun 2005
LPS harus menjamin simapanan nasabah bank berdasarkan prinsip syariah, baik bank umum dan BPR yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah maupun UUS dari Bank Konvensional.
Simpanan nasabah bank berdasarkan prinsip syariah yang dijamin LPS berbentuk seperti berikut ini:
1.      Giro dengan prinsip wadiah
2.      Tabungan dengan prinsip wadiah
3.      Tabungan dengan prinsip mudharabah muthlaqah atau prinsip mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung bank
4.      Deposito dengan prinsip mudharabah muthlaqah atau mudharabah muqayyadah
5.      Simpanan berdasarkan prinsip syariah lainnya ditetapkan LPS setelah mendapat pertimbangan Lembaga Pengawas Perbankan. (Sutedi, 2009, hal. 154-156)

3.      Tugas dan Wewenang OJK
Berdasarkan Pasal 3 RUU OJK, OJK dibentuk untuk melakukan pengaturan dan pengawasan pengelolaan kegiatan bidang jasa keuangan. OJK mempunyai tugas sebagai berikut:
a.       Meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang jasa keuangan
b.      Menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan
c.       Meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan
d.      Melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan
e.       Mengurangi tingkat kejahatan keuangan. (Dewi, 2006, hal. 124)

OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
a.       Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan;
b.      Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan
c.       Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
Kewenangan OJK ditentukan dalam Pasal 7 UU OJK, yang        berbunyi bahwa dalam melaksanakan tugasnya, OJK memiliki wewenang sebagai berikut:                                                    
a)    Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi :
(1)   Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank;
(2)   Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas dibidang jasa;

b)   Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi :
(1)      Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
(2)      Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
(3)      Sistem informasi debitur;
(4)      Pengujian kredit (credit testing); dan
(5)      Standar akuntansi bank;

c)    Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi :
(1)   Manajemen risiko;
(2)   Tata kelola bank;
(3)   Prinsip mengenai nasabah dan anti pencucian uang;
(4)   Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan;

d)   Pemeriksaan bank.

4.      Tugas dan Wewenang LPS
LPS dalam menjalankan fungsinya untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan memiliki tugas yaitu:
a)    Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan dalam hal stabilitas perbankan;
b)   Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal (bank resolution) yang tidak berdampak sistemik;
c)    Melaksanakan penanganan bank gagal yang berdampak sistemik. (pasal 5 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS)
Berdasarkan Pasal 6 UU LPS, dalam menjalankan tugasnya, LPS mempunyai wewenang sebagai berikut:
a)    Menetapkan dan memungut premi penjaminan;
b)   Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta;
c)    Melakukan pengolahan kekayaan dan kewajiban LPS;
d)   Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank;
e)    Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data sebagaimana dimaksud pada huruf d;
f)    Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim;
g)   Menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu;
h)   Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan;
i)     Menjatuhkan sanksi administratif.

Kemudian dalam rangka penanganan dan penyelesaian bank gagal, LPS mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU LPS, yaitu:
a)    Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
b)   Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban bank gagal yang diselamatkan;
c)    Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat bank gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank;
d)   Menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.

5.      Mekanisme Kerja OJK dan LPS
a.      Mekanisme Kerja Ojk
OJK harus senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagai berikut:
a)    Memberikan informasi keuangan kepada BI dan LPS sesuai tugas dan wewenang masing-masing, agar penyelenggaraan fungsinya berjalan aktif dan baik. Informasi harus lengkap dan uptodate yang diperoleh melalui akses langsung ke pusat informasi yang dipelihara OJK.
b)   OJK wajib bertukar informasi dengan BI dalam menyelenggarakan financial stability analisys.
c)    OJK selaku otoritas pengatur tingkat kesehatan bank wajib memelihara kerja sama yang baik dengan BI.
d)   Secara berkala, OJK menyampaikan laporan ke Menteri Keuangan tentang efisiensi dan kesehatan dari individual bank.
e)    Untuk mengantisipasi terjadinya suatu gangguan serius terhadap perekonomian nasional yang diakibatkan oleh bank tertentu, disusun suatu mekanisme yang menciptakan kerjasama antara OJK, BI, LPS dan Departemen Keuangan

Lembaga pengawas OJK dalam kaitannya dengan lembaga keuangan lainnya di Indonesia dapat dilihat dalam bagan dibelakang:
Keterangan bagan tersebut adalah sebagai berikut:
a)    BI berwenang melakukan pengaturan dan pengawasan yang bersifat makro terhadap perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Sebagai Bank Sentral, BI juga berfungsi sebagai lender of the last resort, khususnya untuk membantu mengatasi kesulitan likuiditas.
b)   Fungsi pengawasan, perizinan dan pengaturan perbankan yang bersifat micro prudential banking dilaksanakan oleh OJK yaitu terhadap perbankan (Bank Umum dan BPR, baik yang menjalankan usahanya secara Konvensional dan Syariah) dan terhadap lembaga keuangan lainnya.
c)    Pelaksanaan program penjaminan terhadap dana pihak ketiga (deposit protection/guarantee) yang selama ini dilakukan BPPN dialihkan ke badan yang dibentuk khusus yang diamanatkan UU Perbankan yaitu LPS.
d)   Fungsi untuk mengatasi kesulitan perbankan secara individual (individual resolution) dilaksanakan OJK sebagai otoritas pengawas lembaga keuangan dan khusus perbankan, dilakukan bersama LPS. Fungsi penyelesaian kesulitan perbankan dan lembaga keuangan lainnya yang membahayakan sistem perekonomian nasional (systematic resolution), tetap dipegang pemerintah bersama-sama otoritas moneter dan OJK dengan concerted action yang telah disepakati. (Dewi, 2006, hal. 133)

6.      Mekanisme Kerja LPS
Berdasarkan Pasal 4 UU No 24 Tahun 2004, penjamin simpanan nasabah meliputi penjaminan bentuk yang setara dengan simpanan bagi bank yang menggunakan prinsip syariah. LPS berfungsi menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan bersama dengan Menteri keuangan, BI dan Lembaga Pengawas Perbankan sesuai dengan peran dan tugas masing-masing.
Sejak tanggal 22 Maret 2006, penjaminan oleh LPS meliputi simpanan paling banyak Rp 5 M per nasabah per bank. Nilai simpanan yang dijamin tersebut akan dikurangi secara bertahap menjadi paling banyak Rp 1 M sejak 22 September 2006 dan paling banyak Rp 100 juta sejak 22 Maret 2007. (Sutedi, 2009, hal. 159)
Nilai simpanan yang dijamin LPS mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha bank.Untuk simpanan yang memiliki komponen bagi hasil, saldo tersebut meliputi pokok yang ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah sampai tanggal pencabutan izin usaha BUS, BPRS atau BUK yang menjadi induk UUS.
Pada dasarnya, LPS bukanlah asuransi. Program penjaminan yang dilaksanakan LPS dikenal deposit insurance, pertama kali digunakan di Amerika Serikat tahun 1933 sewaktu mendirikan Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Deposit Insurance atau jaminan simpanan adalah jaminan yang diberikan kepada nasabah penyimpan pada bank oleh penyelenggara penjaminan.
Saat ini, sistem yang digunakan LPS adalah flat rate.Sistem ini mengandung kelemahan karena dipercaya menimbulkan insentif bagi bank untuk meningkatkan risiko dalam portofolio mereka. Apabila LPS telah menggunakan risk base premium, maka permintaan perbankan syariah dapat dipenuhi dalam artian bank syariah yang sehat membayar premi lebih rendah dibandingkan bank syariah yang tidak sehat. (Sutedi, 2009, hal. 161)

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan sebuah lembaga baru yang dirancang untuk melakukan pengawasan secara ketat Lembaga Keuangan seperti perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Adapun tujuan utama pendirian OJK adalah: (1) meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang jasa, (2) menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan, (3) meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan, (4) melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan. Adapun sasaran akhirnya adalah agar krisis keuangan seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang lalu tidak terulang kembali.
Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang bertugas mengawasi dan menjaga stabilitas keuangan yang pada masa-masa sekarang ini sangat rawan dan beresiko tinggi.
Otoritas Jasa Keuangan harus di bangun dengan adanya komunikasi dan koordinasi yang efektif antar lembaga yang terkait. Diharapkannya dalam pembentukan Otoritas Jasa Keuangan bisa menghindari jalan buntu dari Undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR.




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Aminah, Z. (2012). Kajian Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia: Melihat dari Pengalaman di Negara Lain. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Dewi, G. (2006). Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS
Pasal 5 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS
Simorangkir, O. (1998). Seluk Beluk Bank Komersil. Jakarta: Perbanas.
Sutedi, A. (2009). Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.










 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah Pasar Modal (Syariah dan Konvensional)

makalah DPS, DSN, dan DK

PERUSAHAAN DANA PENSIUN